Minggu, 06 September 2015

Guru dan Menulis

Guru dan Menulis
Oleh. Deny Surya Permana*

Dahulu orang enggan sekali untuk menjadi seorang guru, termasuk pengalaman pribadi penulis yang gengsi sekali ketika kuliah di Perguran Tinggi Keguruan (PTK). Pada masa penulis lulus sekolah menengah, sebagian besar lulusan berbondong-bondong untuk masuk ke perguruan tinggi favorit non keguruan. Karena jadi guru dianggap sebagai orang yang memiliki masa depan suram (madesu) dengan penghasilan pas-pasan. Stigma terhadap guru seperti itu karena berdasarkan fakta bahwa profesi guru pada masa lalu memang sangat memperihatinkan.
Ayah penulis adalah seorang guru sekolah dasar. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga saja harus nyambi sebagai tukang ojeg. Menyambung hidup harus dengan kelihaian gali lubang tutup lubang.
Bahkan kata orang jaman dulu ketika ada perawan kembang desa diapeli dua pria, yang satu berprofesi sebagai guru dan satu lagi sebagai supir. Orang tua gadis tersebut akan lebih setuju menjodohkan anak gadisnya dangan supir, karena supir selalu memegang uang setiap hari. Sedangkan guru untuk membiayai hidupnya sendiri saja susah, apalagi harus membiayai anak gadisnya. Kelak anak gadisnya bisa terlantar.
Lain dulu lain sekarang, jaman sudah berubah. Perhatian pemerintah kepada guru sudah semakin baik. Semenjak ada program sertifikasi guru, profesi guru semakin diminati. Salah satu indikatornya, banyaknya peminat pada fakutas keguruan di perguran tinggi. Satu jurusan saja bisa sampai membuka beberapa kelas untuk memenuhi animo calon mahasiswa kuliah di fakultas keguruan.
Profesi guru sudah dianggap satu level dengan dokter. Bahkan ada candaan bahwa menantu idaman masa kini adalah guru. Orang tua yang memiliki anak gadis rela jika anak gadisnya dipinang oleh guru. Hal tersebut disebabkan oleh kesejahteraan guru sudah merangkak naik. Gaji dan tunjangan profesi yang diterima guru sudah menaikan taraf hidup guru. Sekarang posisi guru berada di kelas menengah atas jika dilihat dari strata sosial.
Guru menulis
Seiring dengan perhatian pemerintah terhadap guru, ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh guru. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen bahwa guru harus memliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Untuk urusan menulis, sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru bahwa guru memperoleh angka kredit jabatan fungsional bisa melalui publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif. (Pasal 48).
Terkait adanya aturan tersebut maka guru dituntut untun menulis. Karya tulis merupakan penunjang kenaikan pangkat. Secara teknis hal tersebut terdapat dalam peraturan bersama menteri pendidikan nasional dan kepala badan kepegawaian negara bahwa salah satu syarat kenaikan pangkat guru dalam penilaian angka kredit dalam unsur utama harus melaksanakan publikasi ilmiah yang dapat berupa laporan hasil penelitian atau artikel ilmiah dalam bidang pendidikan.
Menurut pendapat penulis, sebaiknya karya tulis yang menggambarkan pembelajaran di kelas yang ditulis oleh guru. Karena karya tulis tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi dan refleksi pembelajaran. Apakah kualitas pembelajaran sudah baik, atau malah sebaliknya pembelajaran menjadi kegiatan rutin yang membosankan.
Tantangan
Tantangan yang dihadapi guru untuk menulis sangat banyak sekali, yang terberat adalah kemanuan untuk menulis. Menulis adalah pekerjaan yang sulit jika belum terbiasa. Sebagian besar guru hanya jago dalam budaya oral, sedangkan dalam menulis mereka tidak biasa. Padahal budaya oral mudah terlupakan, sedangkan tulisan tidak lekang dimakan jaman, dan dapat diakses banyak orang dengan kecanggihan teknologi masa kini.
Kesulitan menulis bisa jadi dikarenakan kurangnya referensi bacaan yang dimiliki oleh guru. Koleksi buku hanya sebatas buku paket dan lembar kerja siswa. Ditambah lagi dengan akses internet yang tidak ada, menyulitkan guru untuk mencari referensi.
Selain hal tersebut, dilapangan banyak guru yang masih gagap teknologi. Banyak guru yang akut terkena penyakit TBC (teu bisa komputer) apalagi mengoperasikan aplikasi untuk mengolah dokumen. Ini seharusnya menjadi perhatian dinas pendidikan untuk ikut andil dalam memberikan pelatihan penggunaan komputer kepada guru.
Solusi
Solusi yang bisa penulis tawarkan untuk permasalah menulis guru. Pertama, guru harus mulai untuk belajar membaca. Bukankah penulis yang baik merupakan pembaca yang baik. Guru harus menyisihkan tunjangan sertifikasinya untuk membeli buku referensi guna memperkuat keilmuan dan menjadi amunisi dalam menulis. Kedua, dinas pendidikan harus lebih intens membuat program pelatihan menulis untuk guru. Pelatihan diberikan kepada semua guru, dan yang sudah mengikuti pelatihan menulis tersebut harus menghasilkan karya dan menularkan nya di sekolah kepada teman sejawat. Ketiga, memperbanyak perlombaan menulis untuk guru. Ini dilakukan utuk “merangsang gairah” menulis guru. Keempat, memanfaatkan forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk membudayakan menulis. Pengalaman penulis MGMP hanya aktif ketika membuat soal ulangan saja. Kelima, dinas pendidikan memfasilitasi tulisan guru untuk dimuat dalam jurnal pendidikan. Baik yang dimiliki oleh dinas pendidikan atau bisa memfasilitasi untuk dimuat dijurnal lembaga lain baik dalam negeri atau luar negeri. Bukankah jika tulisan guru dimuat dalam jurnal, maka angka kredit untuk guru akan bertambah. Sehingga guru terpacu untuk menulis. Yang terpenting dari semua itu adalah mulai menulis sekarang, karena kalau tidak dimulai entah sampai kapan guru bisa menulis dan bisa disebut guru profesional.